Senin, 05 Desember 2011

Ribuan Kilometer dari Muara Tae

Tak cukup ratusan kilometer jarak yang ia tempuh dalam mencari dukungan untuk menyelamatkan kawasan adat Muara Tae.  Pak Asuy pun rela bepergian ke tempat-tempat jauh berjarak ribuan kilometer dari kampungnya.

Sebuah perusahaan kelapa sawit tanpa permisi membongkar lahan belukar milik warga Muara Tae.  Sebulan lebih sudah upaya penggusuran ini dilakukan oleh PT Munte Waniq Jaya Perkasa, yang dimiliki oleh TSH Resources Bhd  asal Malaysia.  Kawasan adat di Muara Tae ini digusur paksa hingga nyaris terjadi “perang” antar warga Dayak Benuaq.  Sejumlah preman asal kampung sebelah (Muara Ponaq) mengklaim lahan itu sebagai milik mereka lalu menjualnya kepada perusahaan sawit.  Kontan saja warga Muara Tae sebagai pemilik waris di lahan adat itu berang.  Syukurlah perang tersebut gagal terjadi, karena para pemuka masyarakat Muara Tae pun dapat menurunkan emosi warganya.

Karena kejadian ini, lalu beberapa orang warga Muara Tae berinisiatif mengadukan masalah kepada para wakil rakyat provinsi Kaltim di Samarinda.  Pak Asuy bersama para warga akhirnya berhasil mendapat dukungan politis dari para anggota DPR provinsi Kaltim.  Selepas pengaduan ke Samarinda, Pak Asuy lalu berangkat ke Bogor dan Jakarta dengan tujuan serupa.  Ia mengadukan masalah penggusuran lahan ini pada sejumlah LSM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Tak cukup dengan diskusi dan konferensi pers, Pak Asuy pun menyempatkan diri untuk meminta dukungan spiritual dari komunitas masyarakat adat di Jawa Barat.  Dengan ditemani oleh beberapa orang dari Telapak, Pak Asuy mendatangi ibukota Kasepuhan Adat Banten Kidul di Ciptagelar.  Berangkat dari Bogor, rombongan kecil Pak Asuy ini menempuh jarak sejauh 80-an kilometer selama lebih dari 6 jam.  Lamanya waktu tempuh ini karena di bagian akhir harus rombongan kecil ini harus menempuh bukit-bukit terjal, berbatu, dan menembus hutan berkabut di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Setibanya di Ciptagelar, Pak Asuy disambut dengan ramah oleh Abah Ugi dan para “baris kolot” Kasepuhan Adat Banten Kidul.  Abah adalah sebutan pemimpin tertinggi komunitas adat ini.  Rupanya mereka sudah menduga (mungkin secara spiritual) tentang maksud dan tujuan kedatangan Pak Asuy.  Tak perlu lah membahas lebih jauh apakah ini bagian dari kesaktian orang-orang di Ciptagelar atau bukan.  Yang jelas konon kabarnya mereka adalah keturunan pasukan dan pendekar dari Kerajaan Pajajaran saat kerajaan tersebut “moksa”.


Selepas mengutarakan secara lisan maksud kedatangannya, Pak Asuy pun disarankan mengikuti sejumlah ritual adat.  Atas petunjuk Abah Ugi, seorang baris kolot Ciptagelar bernama Ki Karma menuntun Pak Asuy untuk mengikuti acara ritual tersebut.  Pak Asuy dimandikan dengan air bertabur 9 jenis bunga.  Pak Asuy juga dido’akan secara adat dalam hembusan asap kemenyan.  Di akhir ritual, Ki Karma menitipkan kemenyan dan sejenis tumbuhan herbal untuk ditanam oleh Pak Asuy di Muara Tae.  Tak hanya Ki Karma, dengan caranya sendiri Abah Ugi, secara khusus berjanji akan membantu perjuangan Pak Asuy dan warga Muara Tae untuk mempertahankan kawasan adatnya.
“Pak Asuy, sing sabar wae.  Biarkan para penunggu hutan dan leluhur Muara Tae ngabantuan urang.  Urang hudangkeun sing nunggu pohon, batu, dan hutan di Muara Tae.  Tak lama lagi para perusak itu pasti dapat balasannya.  Karena mereka sudah merusak kawasan adat yang jadi titipan leluhur Muara Tae.”
Kini Pak Asuy sudah kembali ke Muara Tae.  Ia telah siap mental dan spiritual menghadapi ancaman yang akan menghancurkan kampungnya.  Sementara para warga adat Kasepuhan Banten Kidul pun bersiap membantu perjuangan itu secara spiritual dari jarak ribuan kilometer.

3 comments:

Anonim mengatakan...

wey mantaaab ...tetap semmangat.

Unknown mengatakan...

terima kasih atas doanya yaa ...

Seting+ mengatakan...

Semoga Semua Doa Terkabul dan Para Leluhur Menyertai (^,^)

Posting Komentar